Rabu, 17 Maret 2010

Penggerebekan Kantor Dewan Adat Papua, Pelecehan Terhadap Harga Diri Orang Asli Papua


Peristiwa penggerebekan Kantor DAP di Kelurahan Heram, Distrik Heram, Kota Jayapura itu terjadi pada Jumat pekan kemarin sekitar pukul 11.00 WIT. Saat itu, petugas Direskrim Polda Papua berhasil menyita 2 senjata api laras pendek serta beberapa lembar bendera Bintang Kejora berukuran kecil. Lewat beberapa jam kemudian, Polda Papua kemudian menggelar sebuah jumpa pers terkait penggerebekan kantor DAP. Serasa dibakar jenggot dan difitnah, DAP kemudian menggelar jumpa pers serupa untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut. Namun sayangnya, gelar jumpa pers oleh DAP sudah terlambat. Kesan terhadap DAP telah dipaku kepada masyarakat bahwa lembaga ini telah menyimpan sejumlah dokumen berbahaya. Yang lebih disayangkan adalah tindakan aparat kepolisian yang menyita sejumlah berkas DAP yang sangat jauh dari kesan keterlibatan lembaga ini dengan OPM. Misalnya, pengrusakan terhadap fasilitas Kantor DAP dan pengambilan data yang tersimpan didalam hardisk komputer. Sejumlah laptop diduga juga turut raib dalam penggeledahan tersebut.
Sekretaris Umum DAP, Leonard Imbiri, Konsultan Hukum DAP, Iwan Niode, SH serta Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia (AMPTI), Markus Haluk kepada pers di Kantor DAP, Sabtu kemarin mengatakan penggerebekan tersebut tidak sesuai prosedur. Menurut Niode, pihaknya tidak setuju dengan pemberitaan sebuah stasius televisi nasional yang memberitakan saat terjadi penggerebekan Kantor DAP, aparat keamanan berhasil menciduk 15 orang yang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta menyita dua senjata api (senpi), 8 buah anak panah, 1 ikat bendera Bintang Kejora mini , 1 lembar daftar nama gerakan kembali ke tanah air dan 1 buah buku warna merah tentang struktur organisasi tentara revolusi Papua Barat. “Pemberitaan itu terlalu mengada-ada,” tegasnya.

15 mahasiswa yang dituduh sebagai anggota OPM, pihaknya membantahnya. Dikatakan, 15 mahasiswa yang berada di Kantor DAP saat peristiwa penggerebekan bukan sebagai anggota OPM. “Soal DAP sebagai markas OPM tidak benar karena mahasiswa tak pernah melakukan pelanggaran hukum. Mereka ada di Kantor DAP karena kantor tersebut adalah tempat masyarakat adat dan anak adat berhak berkumpul dan berdiskusi soal pembangunan di Papua sehingga tak perlu memberikan stigma separatis terhadap mereka,” kata Niode.



http://tabloidjubi.com/index.php/index-artikel/para-para/index.php?option=com_content&view=article&id=1573:pprn-perjuangkan-hak-hak-dasar-orang-asli-papua&catid=87:lembar-olah-raga&Itemid=92

Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI

Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI


Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI Kompas (23/06/2008)
Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998.

Pemerintah menetapkan kebijakan hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik Tap MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002 yang mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.


Menimbulkan ketidakadilan

Kepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam kasus BDNI masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan alasan kesehatan dan mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan sama dan tetap dikenakan penahanan serta dituntut secara pidana.

Tertangkapnya UTG dengan uang sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI; serta rekaman percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang dibuka dalam persidangan terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art oleh Kejagung dengan sepengetahuan Jaksa Agung membuktikan bahwa penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan miscarriage of justice.

Ini merupakan skandal besar kedua dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia setelah kasus dana BI. Rencana penangkapan Art oleh Kejagung juga melanggar Pasal 50 UU KPK (2002) yang tegas melarang kejaksaan atau kepolisian melakukan langkah hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi itu.

Inisiatif Kejagung memeriksa keterlibatan petinggi Kejagung dalam kasus UTG tidak dapat menghapus citra negatif masyarakat. Maka, KPK seharusnya dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung dan memeriksa petinggi Kejagung tersebut.